Foto: Muthmainnah Hakim
Wilayah pesisir Tallo-Makassar masih
tercium sedikit bau mata pencaharian para nelayan, meskipun sebagian besar lebih
mendominasi bau sampah dan bunyi reklamasi yang katanya untuk “keindahan dan
kemajuan”.
Angin laut kala itu menahan kaki saya untuk maju
selangkah menginjakkan kaki di Central Point of
Indonesia (CPI). Kabarnya
tempat itu sejatinya adalah kota mati, tempat terkuburnya tude dan rezeki para nelayan pesisir. Ingatan saya meraba-raba tahun 2010
tentang rumah yang tergusur. Saya tude bersama dengan nelayan digusur, tempat kami bermain petak umpet dan
tempat nyaman kami untuk tinggal dan ngopi. Saat itu ratusan tude harus pindah ke wilayah yang paling dingin dan sunyi bersamaan dengan
1.105 rumah keluarga nelayan tergusur karena proyek reklamasi itu.
Jauh sebelum covid-19 datang, saya tude sudah diisolasi terlebih dahulu sebab tercemar virus reklamasi yang membuat perairan pesisir jadi tercemar, berwarna hitam pekat, berbau tak sedap dan banyak sampah. Kondisi itu membuat sebagian kerabat saya menghilang. Kalau pun ada, kerabat tude sudah tidak layak dikonsumsi karena kami bersifat deposit feeder yang menyerap zat-zat tercemar. Tubuh kami bewarna hijau menyerap sebagian dari virus reklamasi itu.
Saya juga ingin menceritakan
tentang kawan saya, dia seorang manusia yang berprofesi sebagai nelayan, teman
bermain petak umpet. Kami sudah jarang bertemu, dirinya sebagai nelayan kini
terkatung-katung di darat. Tak pernah lagi ia temukan tempat tinggalnya,
selain di trotoal jalanan CPI sejak rumahnya tergusur bersama dengan kami para tude. Lewat telepon
terakhir saya dengannya, ia sempat bercerita;
“dulu disini banyak sekali tude sama kepiting,
sekarang hilang semua mi sejak reklamasi, sekalian hilang juga dengan rumah ku.
Katanya bede itu petugas bakal direlokasi, nah sampai sekarang appami njo. Ada mi yang kerja
jadi tukang parkir, kuli bangunan, penjual asongan kek saya mi” katanya sambil
menjajaki jualannya.
Tahun 90-an teman saya si nelayan ini sering mengeluarkan jokes,
“kalau ada yang banyak sekali gayanya,
suruh saja cari tude” saking banyaknya kerabat tude pada saat itu.
Semakin banyak reklamasi di Kota Makassar, semakin sulit kami untuk makan enak
dan sehat.
Cerita ini akan
ditampilkan di SIKU,
Kamis, 30 Mei
2024