slogan

Nyatakan Hadirmu dengan Kreasi, Wujudkan Lewat Cita dan Cinta

5.30.2024

Lanyakmi Pammantanganna Tudea: hilangnya tempat tinggal kerang

 

Foto: Muthmainnah Hakim

Wilayah pesisir Tallo-Makassar masih tercium sedikit bau mata pencaharian para nelayan, meskipun sebagian besar lebih mendominasi bau sampah dan bunyi reklamasi yang katanya untuk “keindahan dan kemajuan”.

Angin laut kala itu menahan kaki saya untuk maju selangkah menginjakkan kaki di Central Point of Indonesia (CPI). Kabarnya tempat itu sejatinya adalah kota mati, tempat terkuburnya tude dan rezeki para nelayan pesisir. Ingatan saya meraba-raba tahun 2010 tentang rumah yang tergusur. Saya tude bersama dengan nelayan digusur, tempat kami bermain petak umpet dan tempat nyaman kami untuk tinggal dan ngopi. Saat itu ratusan tude harus pindah ke wilayah yang paling dingin dan sunyi bersamaan dengan 1.105 rumah keluarga nelayan tergusur karena proyek reklamasi itu.

Jauh sebelum covid-19 datang, saya tude sudah diisolasi terlebih dahulu sebab tercemar virus reklamasi yang membuat perairan pesisir jadi tercemar, berwarna hitam pekat, berbau tak sedap dan banyak sampah. Kondisi itu membuat sebagian kerabat saya menghilang. Kalau pun ada, kerabat tude sudah tidak layak dikonsumsi karena kami bersifat deposit feeder yang menyerap zat-zat tercemar. Tubuh kami bewarna hijau menyerap sebagian dari virus reklamasi itu.

Saya juga ingin menceritakan tentang kawan saya, dia seorang manusia yang berprofesi sebagai nelayan, teman bermain petak umpet. Kami sudah jarang bertemu, dirinya sebagai nelayan kini terkatung-katung di darat. Tak pernah lagi ia temukan tempat tinggalnya, selain di trotoal jalanan CPI sejak rumahnya tergusur bersama dengan kami para tude. Lewat telepon terakhir saya dengannya, ia sempat bercerita;

“dulu disini banyak sekali tude sama kepiting, sekarang hilang semua mi sejak reklamasi, sekalian hilang juga dengan rumah ku. Katanya bede itu petugas bakal direlokasi, nah sampai sekarang appami njo. Ada mi yang kerja jadi tukang parkir, kuli bangunan, penjual asongan kek saya mi” katanya sambil menjajaki jualannya.

Tahun 90-an teman saya si nelayan ini sering mengeluarkan jokes,

“kalau ada yang banyak sekali gayanya, suruh saja cari tude” saking banyaknya kerabat tude pada saat itu. Semakin banyak reklamasi di Kota Makassar, semakin sulit kami untuk makan enak dan sehat.

 

Cerita ini akan ditampilkan di SIKU,

Kamis, 30 Mei 2024

3.27.2024

Memperingati Hari Teater: TKU Teatrikal Puisi Sajak Orang Lapar Karya WS Rendra

 


AKSI PINTU 1 UNHAS



MAKASSAR, TKU - Hari Teater Sedunia diinisiasi oleh Institut Teater Internasional atau International Theatre Institute (ITI) pada 27 Maret sebagai momentum memperkenalkan esensi dan keindahan seni teater secara meluas di seluruh negara, hari teater ini juga selain menghibur juga memberikan edukasi melalui ruang diskusi dan pertunjukan yang dilaksanakan pada hari itu.

Memperingati hari teater sedunia ini, UKM Teater Kampus Unhas (TKU) menghadirkan teatrikal puisi “Sajak Orang Lapar” karya WS Rendra sebagai ulasan kritik dan terikat dengan nuansa Ramadhan di Taman Universitas Hasanuddin. Rabu, (27/03/24).

Aktor yang bermain adalah Akhdan yang menggunakan celana pendek putih dengan baju kemeja bergambar Wiji Thukul, Andi Fausiah dan Sitti Nurdiana menggunakan pakaian serba hitam sebagai simbolis burung gagak yang di identik dengan kelaparan dalam puisi tersebut. Sedangkan penggunaan baju Wiji Thukul diambil sebagai sosok yang melawan kediktatoran dengan rasa laparnya.

Properti yang digunakan terdiri dari meja roda, wajan, dan pattapi beras. Maksud dari penggunaan properti ini beragam: Meja sebagai ruang interpretasi terhadap kekuasaan atau kontrol terhadap diri sendiri dalam berbagai ruang diskusi, instansi, ruang dapur, dan sebagainya.

Wajan kosong sebagai penggambaran bunyi orang-orang lapar yang berdinamika dengan harapan-harapan semu.

Pattapi beras dengan isi kosong sebagai hasil kekayaan negara yang berasal dari masyarakat namun belum dapat dinikmati oleh masyarakat itu sendiri.

Akhan, seorang yang menggambarkan teatrikal tersebut mengatakan bahwa puisi karya WS Rendra ini sarat akan pesan-pesan kelaparan sebagai mati dan perbudakan logika sehingga kasus kekerasan sering terjadi karena permasalahan perut, juga sebagai indikasi perlawanan atas diri sendiri maupun kediktatoran.

"Saya membaca puisi ini dan memahami bahwa segala dosa metropolitan ini cikal bakalnya dari perut yang lapar. Itu juga mungkin yang coba diutarakan WS Rendra sebagai “penghalang ke Sorga-Mu” disela-sela baitnya” katanya.

Teatrikal ini puisi Sajak Orang Lapar ini dinilai sangat cocok ditampilkan saat Ramadhan sebagai esensi merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang berkelas ekonomi ke bawah. (adn/*)


1.16.2023

Dari Festival Teater Mahasiswa TKU: Potret Suram Negeri Ini

dok tku

ARSIP TKU- "Ibu, jika kau besok 'ndak pulang burung beranjak di halaman tak berhenti bernyanyi. Angin menebar amis darah dari jalan-jalan dan kau membaca sebuah nama tiba akan dikabarkan hilang. Tak usah cemas dan jangan menangis."

Usai membaca surat, ibu yang kini tua renta mengerutkan keningnya, sebagai pertama ia sedang cemas memikirkan anaknya yang pergi bermain. Meski cemas, namun ia tetap merelakan anakanya bermain, karena permainan anaknya adalah sebuah kemuliaan.

Ia pun meneruskan sulamannya, meski sekitarnya suara-suara tembakan diiringi tangisan terdengar membahana mengisi telingannya yang kini tidak peka lagi. Ternyata penyebabnya tak lain karena sekelompok orang-orang berpakaian hijau berusaha mengusik ketenangan anak-anak yang bermain. Mereka sepertinya berusaha untuk membungkam suara-suara yang dinilai dapat mengganggu stabilitas permainannya.

Dalam pencariannya, ia tertidur pulas dan berusaha dibawa ke dalam mimpi. Tapi, tiba-tiba secara tidak disangka-sangka, sosok pating yang sedari tadi berdiri pada satu level bergerak menuju ke arah orang yang pernah mengusik dirinya.

Usaha mereka hanya sebatas mengganggu mereka dalam mimpi, karena ternyata ia telah menjadi mayat gentayangan yang mati secara tidak wajar. Orang I yang diperankan Hari Bahru ternyata mati tertembak di ujung barat negeri ini, sedangkan orang II yang diperankan Hadist Badawi mati tertembak ketik sedang 'bermain' di bawah jembatan (Semanggi, red), sedangkan Ahmadi yang memerankan orang III mati setelah sebelumnya hanyut di sebuah sungai di kota ini usai melaksanakan permainan.

Gambaran singkat naskah Suara-suara dari Kosaster Unhas yang dipentaskan, Minggu, (27/8) di Taman Budaya Sulsel salah satu contoh betapa dibutuhkannya kesadaran bagi semua pihak bahwa selama ini sudah banyak yang terjadi kekeliruan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab. Padahal, kalau di dalami secara mendalam, kita ini berasal dari satu ibu, ibu pertiwi. Namun, jima memang keduanya tidak dapat bersatu, maka pertentangan akan terus berlangsung. Terbukti di endung cerita, sutradara menghadirkan adegan dari dua kelompok yang saling berbeda. 

Dalam konteks sekarang ini, ternyata tema yang ditawarkan Kosaster sangatlah tepat apalagi tata musik yang komandoi Muslim sangat membantu pementasan. Apalagi, ketika grup teater Embrio Unismuh, menawarkan sebuah kegelapan yang membingungkan lewat karyanya bertajuk Negeri karya A Ansar Agus dan Sutradara Haslinda. Betapa tidak selama pertunjukan berlangsung, yang dirasakan pemainnya, adalah kegelapan dan kerisauan.

Bahkan penonton pun dipaksa untuk menonton dalam kegelapan. Sehingga, jadilah tontonan menjadi ajang kegelisahan. Kegelisahan pemain terhadap negeri yang kini semakin suram juga dialami penonton seperti tontonan yang sering kita lihat di televisi mengenai keadaan negeri. Jangan kegembiraan, deritas pun sudah tidak mendapat tempat lagi di negeri ini. (m2-m4/wik/b)

FAJAR, Selasa, 29 Agustus 2000

FTMI: Suara-suara dari Taman Budaya

Dari Festival Teater Mahasiswa Makassar

dok tku


ARSIP TKU-Tiga sosok tubuh pucat diam bak patung batu. Bersusun tiga dan matanya tajam menatap ke depan. Di depannya seorang ibu tengah tenggelam dalam kesibukannya menyulam sebuah selendang. Sementara di sudut lain, seseorang komandan berseragam hijau sibuk memberi penerintah kepada dua anak buahnya untuk mencari suara-suara yang memekakkan teliga.

Sosok yang berasal dari kematian, dan dari tiga tempat yang berbeda. Meski terkesan sangat simbolik namun maknanya mengungkapkan, jika ketiga roh itu mewakili Aceh, Tragedi Jakarta, dan mahasiswa UMI yang tewas saat demokrasi beberapa tahun silam. "Bagaimana caranya kita dapat membantu ibu memperindah sebuah selendang. Kita di alam lain. Semoga anak-anak penerus itu lahir dan dapat membantu ibu memperindah sebuah selendang," ujar mereka.

Sebelum berlalu, ketiga sosok kaku itu memberi mimpi buruk dan suara-suara aneh pun menggema memekkan telingan. Dan, akhirnya, kebatilan dapat dikalahkan oleh kebaikan. Leher sang komandan pun harus rela dikait dengan sarung-sarung anak negeri, pemberian sang ibu pertiwi. 

Dari dialog dan ekspresi tubu yang ditampilkan oleh Kelompok Sastra dan Teater (Kosaster) Unhas ini ingin seakan ingin mengungkapkan sebuah masalah yang sampai saat ini belum diselesaikan. Judul 'suara-suara" garapan sutradara M Hadis Badui SS merupakan salah satu peserta dalam Festival Teater Mahasiswa Se Sulawesi Seelatan yang diselenggarakan oleh Teater Kampus Unhas (TKU).

Penampilan lain Teater Embrio dari Universitas Muhammadiyah Makassar (UMM), menampilkan kegelapan dan suara-suara serta nyal senter di atas panggung. Seorang wanita yang dibalut kegelisahan, ketakukan dan senantiasa memasang telingannya saat mendengar suara-suara yang mendekatinya. Kasak-kusuk dan berdialog sendiri dalam kesunyiannya di sebuah negeri yang tak pernah ia inginkan. Tapi, ia tetap di sana. Sampai seorang miskin datang menawarkan bantuan. Ia terdampar ke negeri kegelapan itu karena orang kepercayaannya justru mencabik-cabik dirinya.

Dia yang selama ini memberi keturunan dan memberikan keteduhan justru dicampakkan. Tapi ada daya, sang wanita dalam gelap itu pun menendangnya. "Pergilah ke perbatasan," ujar sang wanita.

Beraksi di atas pentas tanpa menampakkan sosok dan ekspresi pemain secara gamblang membuar penonton di aula Taman Budata, harus jeli memasang mata dan telinga untuk memaknai setiap adegan yang disuguhkan. Sutradara Embrio yang memberikan titel Negeri Bayangan ini tampaknya ingin bereksperimen berteater tanpa lighting yang memadai.

"Cerita bertutur bagaimana kita sekarang, berada dalam kegelapan, kesuraman. Sehingga diperlukan, kejelian mata untuk melihat," ungkap Rica saat dialog antar sutradara dengan penonton.

"Dalam pementasan teater, ekspresi itu sangat diperlukan, semestinya lampu senter lebih kuat, sehingga menampilkan sosok dan ekspresi lebih nyata," uuar Syahriar Tato yang turut menikmati pementasan tersebut. Kalau tidak ada aral, malam ini seni teater mahasiswa, Makassar dari TKU dan UNM akan manggung (ang/yk/C)

Ujung Pandang Express, Minggu, 27 Agustus 2000


FTMI: Talas dan Panser, Tampilkan 'Wajah' Sesungguhnya

 Dari Festival Teater Mahasiswa di Taman Budaya 

dok tku


ARSIP TKU-Menjadi anak negeri memang tidak mudah, apalagi kalau hidup ini hanya dimanfaatkan untuk diri sendiri tanpa memikirkan orang lain di sekitarnya. Karena hidup ini adalah saling ketergantungan.

Dalam Festival Teater Mahasiswa Indonesia (FTMI) Sulsel yang digelar TKU Unhas di aula Taman Budaya Sulsel Jumat (25/8) lalu ini menampilkan dua grup teater kampus. Meski berasal dari kawasan yang sama yakni teater kampus, tapi dalam hal karya sangat berbeda, terutama dari segi tema yang ingin disampaikan kepada khalayak.

Tilik saja misalnya pertunjukan eksperimental bertajuk Anak Iblis yang ditampilkan UKM Seni Budaya Talas Unismuh, terlihat ada kesungguhan untuk menggali lebih dalam lagi tentang tema yang ingin disampaikan kepada semua penonton.

Dalam cerita, si penulis naskah, Abidin Wakur menghadirkan dua sosok manusia, Beddu dan Rohana yang merupakan tokoh utama dalam cerita tersebut. Manusia desa adalah gelar yang cocok untuk keduanya, karena dalam adegan digambarkan kalau mereka seakan-akan tidak tahu-menamu dengan keadaan kota yang sebenarnya. Tapi dengan segala keberanian yang disandangnya, mereka berdua barangkali entah dengan maksud apa-apa.

Sejak kecil, di dalam keluarganya ia senantiasa dididik untuk taat beragama. Tak heran jika azan maghrib tiba, keduanya diwajibkan untuk berangkat ke mesjid. Mesjid baginya pada waktu itu, merupakan tempat menautkan pikiran dan perasaannya. Hari-hari indah itu pun mereka lewati berdua dengan segala kebahagiaan.

Tampaknya keduanya terpengaruh dengan pepatah yang mengatakan, "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina" yang membuatnya harus melanjutkan sekolah di kota yang tidak pernah dikenalinya sama sekali.

Namun saat menginjak kora, ia sama sekali tidak menyangka kalau "benteng" jiwa yang selama ini kuat harus jebol. Ternyata hidupnya harus berhadapan dengan sejumlah modernisasi  yang membuat dirinya terbius dalam buaian pergaulan kota. Awalnya memang coba-coba, tapi kemudian ia tidak sekadar menjadi kebiasaan, akan tetapi lambat laut menjadi kewajiban. Seperti wajibnya ai menunaikan shalat lima waktu. Masya Allah!

Menjadi berandal kota memang bukan cita-citanya dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Akan tetapi, tak dapat dipungkirinya kalau iman yang ada di dadanya tak kuasa menahan serangan kota yang tidak memikirkan siang malam perputaran roda waktu.

Karena kelakuannya, Beddu menjadi buronan polisi, sementara Rohana terjun ke dunia serba gelap. Sehitam dan sekelabu cita-citanya yang sirna oleh kejamnya kota.

Tapi, tidak disangka-sangka Beddu yang buronan polisi tersebuh tiba-tiba menjadi 'raja' alias memimpin sebuah negara. Namun, lagi-lagi ia berbuat keteledoran, karena cara memimpinnya tidak disukai rakyatnya, karena ia dengan semena-mena memerintahkan rakyat.

Tapi semua itu tidak ada artinya dan tak akan pernah terjadi. Itu hanyalah mimpi belaka yang membuat dirinya terbuai dalam tidur yang panjang. Dan memang seperti itu, ia lebih memilih mati dalam kesendiriannya daripada terus diburu oleh bayangannya sendiri. Bayangannya yang bisa membunuhnya secara perlahan. Sementara itu, Rohana berhasil selamat dengan bantuan seorang kyai.

Pada pementasan kedua, teater panser UMI menampilkan "Sketsa garis Miring" yang banyak bercerita tentang anak pertiwi yang sudah kehilangan kemampuan untuk berjuang. Menurutnya, dunia ini telah kotor dengan penuh intrik dan trik dan tidak jarang cara-cara kotor juga digunakan untuk menindas kaum yang paling bawah.

Bahkan sang sutradara mematikan ibu pertiwinya sendiri yang kemudian menerbangkannya ke dalam dunia lain sembari menatap merah putih yang semakin hari semakin lusuh dan sakit. Naskah ini ditulis dan disutradarai sendiri oleh Mursyiddin Albin SS.

Penampilan kedua pementas malam itu, secara garis besarnya belum tergarap secara serius. Pasalnya masih ada hal-hal yang sifatnya teknis, seperti artikulasi, pengadengangan, mimik, dan artistik yang belum memadai dari kedua peserta. Meskipun demikian, itulah usaha mereka untuk menampilkan satu ciri teater mahasiswa. Namun, entah siapa yang akan memberi nama bahwa inilah teater mahasiswa. Namun perkataan tersebut tidak sampai di sini karena masih ada lima peserta yang akan tampil hingga 31 Agustus mendatang. (m2)

Harian Fajar, Sabtu, 26 Agustus 2000


12.26.2022

Tujuh Teater Mahasiswa Berlaga di FTMI

 


Malam Ini di Aula Taman Budaya Sulsel 

Meski pelaksanaannya sempat tertunda beberapa kali, akhirnya Festival Teater Mahasiswa Indonesia (FTMI) Sulsel dapat juga terlaksana. Hal ini terlihat setelah panitia menggelar technical meetong dengan peserta festival di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), Selasa, (22/8) lalu.

Pada festival ini, dipastikan tujuh grup teater akan tampil dan saling berkompetisi di ajang yang baru pertama kali di gelar di Sulsel ini. Ketujuh grup teater yang akan mengambil bagian dalam ajang tersebut antara lain, Teater Talas, Sanggar Embrio (Unismuh), Teater Paser, Teater Kabut (UMI), Kosaster (Unhas), Teater Kampus Unhas (TKU), dan Sanggar Seni Budaya (UNM).  

Malam ini, merupakan hari pertama dimulainya festival yang rencananya dibuka Rektor Unhas, Prof Dr Rady A Gani. Dan untuk penampilan malam pertama, dua grup teater akan tampil memperlihatkan kebolehannya di atas panggung bebas ekspresi tersebut.

Teater Talas dari Unismuh misalnya, akan menampilkan naskah berjudul Anak Iblis. Naskah ini dimainkan enam orang, sedangkan naskah tersebut ditulis dan disutradarai sendiri Abidin Wakur.

Sementara itu, Padepokan Seni Sastra (Panser) UMI akan menampilkan karya Syamsuddin Simmau SS berjudul Sketsa Garis Miring. Judul tersebut tentunya sangat menarik, karena memang hidup ini ibarat sebuah garis miring yang penuh dengan intrik dan taktik seperti yang tertera dalam sinopsis naskah tersebut.

Ketua panitia FTMI Sulsel, Muh Zuhdy Hamzah kepada Fajar kemarin mengungkapkan bahwa pada awalnya festival ini akan diikuti sebelas grup teater mahasiswa yang ada di Makassar ini, akan tetapi dalam technical meeting yang hadir hanya tujuh grup teater. "Persiapan kami telah cukup, dan mudah-mudahan pada pelaksanaan yang akan mulai besok malam (malam ini, red), dapat terlaksana dengan baik," katanya. (m2/wik/b)

SUMBER; Harian Fajar, Jumat, 25 Agustus 2000


ARSIP 2000: Festival Teater Mahasiswa Se-Sulsel


Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Kampus Unhas (TKU), Agustus mendatang akan melaksanakan Festival Teater Mahasiswa Indonesia se-Sulawesi Selatan. Bentuk kegiatan ini berupa pementasan naskah cerita serta diskusi seni dan sastra dengan pembicara Mochtar Pabotingi.

Menurut Ketua TKU, Amri Gallang, tujuan diselenggarakannya festival ini untuk memberikan kesempatan kepada pelaku kesenian kampus guna mementaskan hasil karyanya. Di samping itu, kegiatan ini diharapkan pula dapat menjalin komunikasi yang harmonis antara pelaku kesenian kamous dengan mahasiswa pada umumnya dan para pemerhati seni yang ada di Sulsel. 

Dikatakan, cerita sebagai sarana ekspresi, dapat dijadikan media dalam mengemukakan ide seorang atau suatu kelompok masyarakat terhadap penangkapannya terhadap fenomena masyarakat.

Media cerita menjadi alat ekspresi yang khas tentang derita duka dan bencana yang terjadi di sekitar kita.

Selain itu kegiatan bertema, Abadikan Hidup dengan Karya, merupakan respons atas segala peristiwa untuk dikisahkan kembali dengan sebuah kemasan yang lain. Kondisi ini yang coba ditangkap TKU selaku panitia pelaksana.

Dalam teknis pelaksanaannya, panitia tidak membatasi jumlah pemain pendukung pementasan masing-masing grup, dan pementasan sendiri diberi waktu 50 menit. Penilaiannya sendiri didasarkan pada putusan dewan juri yang jumlahnya tiga orang dan sifatnya mutlak serta tidak dapat diganggu gugat. Unsur-unsur yang dinilai yaitu, sutradara, tokoh utama (pria/wanita), tokoh pembantun (pria/wanita), penata artistik, penatas musik, dan penata cahaya.

Panitia dalam festival ini juga hanya menyediakan properti pementasan berupa traf, lighting, layar hitam, dan sound system. Untuk biaya produksi dan pementasan, ditanggung masing-masing grup. Dan grup yang berhak mengikuti festival ini adalah grup yang diundang panitia dan mendaftarkan diri. Jika tidak mengikuti technical meeting, grup dianggap mengundurkan diri.

Grup yang memperoleh kategori terbanyak akan keluar sebagai grup terbaik. Hal-hal yang belum ditentukan, akan dibicarakan pada saat technikal meeting, 23 Agustus 2000 di Aula PKM Unhas, Lt. II (m4/wik/b) 

SUMBER: Harian Fajar, Senin, 24 Juli 2000

ARSIP 2000: Festival Teater Mahasiswa Indonesia Se Sulawesi Selatan




FTMI DI UNHAS. Teater Kampus Unhas (TKU) akan menggelar Festival Teater Mahasiswa Indonesia Se Sulawesi Selatan. Menurut Ketua Pelaksana, M Zuhdy kepada Fajar kemarin mengungkapkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kreavitas seninam-seniman kampus dalam berkarya. 

Dalam ajang ini, telah dipastikan sepuluh grup teater mahasiswa dan akan berlangsung dari 25-31 Agustus di Aula Taman Budaya Sulsel Jalan Jenderal Sudirman. Kesepuluh grup tersebut antara lain: Teater Panser, Teater Kabut (UMI), UKM Seni Budaya (UNM), Teater Talas (Unismuh), Kosaster, TKU, Embrio (Unhas), Teater Universitas Sawerigading, Teater 45, dan Teater UNM. (u2)

SUMBER; Harian Fajar, Minggu, 20 Agustus 2000