slogan

Nyatakan Hadirmu dengan Kreasi, Wujudkan Lewat Cita dan Cinta

6.14.2015

Kehidupan dalam Sarung,...!!!


Teater "Pulang" Naskah/Sutradara Andi Arafat

*****

 "Sebuah pembacaan dari pementasan teater kampus unhas dengan Naskah "Pulang; Nyanyian dari tanah kami" Karya/Sutradara Arafat Andi. 


adegan: mengenang
Seperti pada pementasan  teater pada umumnya, pertunjukan selalu dimulai dgn lampu gelap, lalu seketika terang dan pemain masuk. Tapi ada yang baru pada pementasan kali ini, semua pemain seketika hadir di atas panggung, lalu menari dgn acapela musik padduppa. Para aktor maju ke dpn seolah memperkenalkan dirinya dan apa yang akan dlakonkan selama pertunjukan berlansung.  Tentu hal ini adalah sebuah kebaruan kembali yang coba dieksperimen oleh sang sutradara pada naskah yang sedang digarapnya. Lakon dengan naskah yang konvensional, realitas yang direkam sutradara atas fenomena sosial dan budaya di sekitarnya menjadi ide awal dalam penggarapan ini menurut saya. 


Lakon ini bercerita tentang adat istiadat, tentang hubungan yang tidak direstui, tentang "perlawanan" mereka yang harus dihadang oleh darah yang berbeda corak, lalu memilih untuk saling menyerahkan siri/harga diri/kehormatan sebagai sebuah perlawanan akan adat istiadat yang sepertinya sangat dianggap kaku. Lalu "dipoppangi tana" di buang jauh dari tanah kelahirannya karena telah melanggar adat dan mencoreng darah biru yang mengalir dalam darahnya. Lalu tragedi lain muncul saat ditanah buangan, suami yang telah membawanya jauh dari keluarga lalu meninggal ditelan laut, membesarkan anak sendiri dgn gempuran budaya modernitas, menjadi anak yang besar dgn budaya-budaya hedonitas lalu membuat anak itu kembali berbuat seperti yang telah dilakukan ayah-ibunya hingga membuat mereka terbuang oleh keluarganya dan dari tanah kelahirannya. 

Beberapa adegan menarik ditampilkan dengan sangat simbolis, seperti pada adegan saat “perlawanan” sepasang kekasih yang memilih menyerahkan kehormatannya pada laki-laki yang dicintainya. Gambar adegan dengan sarung sebagai media untuk menujukkan penyerahan itu, sangat estetis namun tidak erotis. 

Lalu pada adegan lain dengan kembali menggunakan media sarung, budaya masa lampau juga diangkat ke atas panggung, “sigajang laleng lipa” saling menikam dalam sarung. Pertarungan harga diri untuk menebus siri/harga diri , mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya. Media sarung sebagai simbol yang telah merenggut harga diri keluarga dan media sarung pula yang saling menikam untuk menebus dan menunjukkan harga diri dari siri atau malu keluarga yang menjadi jalan keluarnya. Semua peristiwa dalam adengan tersebut menujukkan sisi kelaki-lakian seseorang.

adegan; tikam dalam sarung
Kembali sang ibu dipertemukan dengan sesuatu hal yang membuatnya kembali mengenang peristiwa yang menyebabkan dirinya dibuang oleh orang yang melahirkannya. Oleh adat istiadat yang menjadi patron dalam pergumulan sosial lingkungan tempat tinggalnya dulu. Ada tatapan penyesalan, pencerahan akan apa yang dperbuatnya masa silam adalah sesuatu yang keliru. Sang perempuan yang kini menjadi ibu mulai ragu akan cinta yang selama ini dperjuangkan, tentang apa yang dinyakininya tentang hidup dan kehidupan yang harus membuat dirinya melawan adat istiadat tanah kelahirannya. Dengan mata kepalanya sendiri melihat anaknya melakukan hubungan badan bersama kekasih yang merasa dicintainya, kembali sutradara menggunakan media sarung untuk mengambarkan adegan tersebut. Benturan pengalaman bathin yang ditayangkan sutradara di atas panggung seolah menghadirkan sebuah anomali, sebuah oposisi kehidupan moderent dan tradisional. Pertentangan yang tak pernah berujung pada sebuah kesepakatan akan pola pikir apapun. 

Hal paling tragis terjadi saat sang anak beranggapan, apa yang dilarang dan dianggap sebagai sebuah hal yang mempermalukan keluarga olehnya ibunya, membalas dengan perlakuan membuang ibunya ke panti jompo. Anaknya sendiri dan anak muda disekitarnya tempat dia hidup menganggap apa yang dikatakan ibunya, tentang melanggar adat istiadat, mempermalukan keluarga adalah sebuah kegilaan, sebuah pikiran orthodoks dari pola pikir tradisional sebagai orang tua. Lalu mereka yang sekarang bergumul dan belajar dari apa yang dihadirkan dunia modernitas menjadi sebuah paham tersendiri dan sekaligus menjadi gaya hidup mereka. Sekali lagi sang ibu diasingkan, dibuang oleh yang dicintainya, anak yang dibesarkan dalam buangan tanah kelahirannya. Dia kembali dipompangi tanah, disebuah panti jompo yang dihuni orang-orang yang entah dan mungkin senasib dengan dirinya.

"adat tak memihak"
Apakah sutradara menerawang kehidupan yang akan datang di tanah Bugis-Makassar ini, bahwa akan ada situasi dan kondisi kehidupan yang persis seperti ini. Tapi bisa saja hal ini mungkin telah terjadi didekat kita dalam bentuk yang berbeda namun sang orang tua bernasib atau mengalami hal seperti itu. Saat kampung halaman kita hanya tinggal orang tua yang menghuni rumah, lalu anak-anak yang sekarang sedang sibuk bekerja hanya datang pada saat hari raya, seperti mengunjungi panti jompo sekali dalam setahun. Akan tetapi dalam cerita pertunjukan ini, tak sekali pun sang anak datang mengunjunginya. Sang ibu hidup dalam khayalan anaknya akan datang mengunjunginya, derita bathin yang mengerogoti hidup dan jiwanya, hingga diakhir pertunjukan sang ibu memilih hidup yang abadi dalam mimpinya, mesti dia tidur dalam keabadian.
Lika liku kehidupan sang perempuan yang digambarkan pada lakon "Pulang" oleh sang sutradara seperti menerima kemalangan yang beruntun, kesedihan yang tak pernah berhenti menyambangi perjalanan kehidupannya. 

Apakah ini berarti bahwa perempuan memang mahluk yang sangat kuat dmuka bumi ini. Ataukah memang perempuan wajar bernasib seperti itu, selalu menjadi anak tiri dari adat istiadat, korban dari gemerlap dunia modernitas. Tapi pastinya itu bukan takdir seorang perempuan, mungkin hanya sebuah rute, dinamika kehidupan atau mungkin sebuah jalan pulang baginya dari sudut pandang sang sutradara sekaligus penulis naskah lakon pulang ini.


Genre Postdramatik yang digunakan sutradara menghidupkan naskah teater yang digarapnya dalam pertunjukan kali ini. Menghadirkan smua tanda sekaligus ke atas panggung, menghadirkan budaya yang beragam dan lintas budaya, lalu membiarkan penonton melacak tanda-tanda yang hadir serentak ke atas panggung. Ini adalah salah satu kebaruan dalam garapan dunia teater dewasa ini. 


Geliat Teater Mahasiswa di Sulawesi Selatan

Geliat teater mahasiswa di sulawesi selatan sekarang ini bisa dikatakan sangat ageresif dan mendobrak kemapanan pengetahuan teater mereka. Hampir tiap kampus, perguruan tinggi maupun swasta berlomba-lomba menunjukan eksistensi mereka dalam dunia kesenian khususnya dunia teater. Pada Festival Teater Mahasiswa Indonesia ke-7 yang mei nanti akan dilaksanakan di UPI Bandung. 

Ada empat kelompok teater mahasiswa yang mewakili Sulawesi Selatan yang lolos sebagai finalis untuk ikut pada ajang tersebut. Salah satunya UKM Teater Kampus Unhas dengan Naskah “Pulang; Nyanyian dari tanah kami”. Dari 34 kelompok teater yang telah mendaftar untuk ikut pada festival tersebut dari kampus seluruh Indonesia hanya 15 kelompok yang lolos kurasi dan menjadi finalis untuk berlaga di Bandung tgl 2-10 mei 2015. Bila kita petahkan kelompok-kelompok teater mahasiswa tersebut, kelompok teater mahasiswa asal sulawesi selatan yang lebih mendominasi wilayah yang banyak komunitas teater mahasiswa yang ikut dan lolos menjadi finalis.

Ini menjadi bukti bahwa atmosfer berkesenian di Sulawesi Selatan, di Makassar, khususnya di dunia teater patut diacungi jempol dan mendapat perhatian lebih dari kampus dan pemerintah. Ternyata ,asih banyak pemuda-pemuda khususnya mahasiswa yang memilih meluapkan kreativitas mereka, gejolak jiwa muda mereka ke hal-hal yang sangat positif, mengasah kepekaan dan mental mereka dengan gigih pada dunia kesenian yang memang sangat minim perhatian dari “beliau-beliau”. Sekali lagi dalam dunia pertunjukan Teater Kampus Unhas sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan dengan ciri teater proses dan protes menunjukkan daya kritisnya dalam menyikapi fenomena-fenomena sosial dan budaya yang ada disekitarnya, mereka masih kelompok mahasiswa yang menjalankan amanah sebagai seorang mahasiswa. (*)

Burhan Kadir, S.S., M.A.
Teater Kampus Unhas, juga pengajar pada Fak. Sastra Unhas dan ISBI SulSel

*Tulisan ini pernah di muat di HARIAN FAJAR.

Tidak ada komentar: