Di sudut rumah panggung Bugis, seorang anak kecil terlihat memainkan
permainan tradisional seorang diri. Rambutnya kusut dan tidak terurus.
Kedua kakinya terpasung. Sementara di sudut lain, seorang ibu memandang
lurus dengan tatapan sayu. Tangannya masih menggenggam walida. Dengan
gemulai, ia mulai menenun. Lampu hijau menyorot tangga rumah. Seorang
perempuan memakai baju bodo turun perlahan dengan menarikan tari
pattenung. Sementara alunan kecapi, suling, dan gendang lamat-lamat
mengiringi gerakannya. Langkahnya terhenti di depan putaran pemintal. Ia
memutar pemintal yang menandai cerita baru dimulai.
Itulah salah satu adegan dalam pementasan berjudul Walida yang
disutradarai oleh Erwin Suprianto dan asisten sutradara Hijrah Nasir
yang baru-baru ini dipentaskan oleh Teater Kampus Unhas di Baruga Andi
Pangeran Pettarani, Universitas Hasanuddin, Minggu, 14 Oktober 2012.
Dengan durasi pementasan 47 menit, pementasan ini mengisahkan kehidupan
seorang perempuan penenun yang menghabiskan hampir separuh hidupnya
terpasung di bawah tenunan. Cerita diawali dengan kepergian suaminya
merantau ke negeri seberang karena siri’. Sehingga perempuan ini harus
membesarkan anaknya seorang diri. Selama bertahun-tahun ia menunggu
kedatangan suaminya dengan terus menenun. Berharap suatu saat
sarung-sarung itu akan dipersembahkan kepada suaminya saat ia kembali.
Namun seiring berjalannya waktu, suaminya tak kunjung kembali. Konflik
kemudian hadir, ketika orang tua perempuan prihatin melihat kondisi
anaknya yang terus saja menunggu dengan setia. Sampai ketika seorang
rentenir datang dan berniat menikahinya. Namun Ia tetap bertahan dengan
kesetiaannya sampai akhir hidupnya.
Tenun menjadi media yang digunakan oleh ibu untuk mengajari anaknya
tentang nilai-nilai kesabaran, ketekunan, dan keikhlasan menjalani
hidup. Seperti yang terlihat dalam penggalan dialog dari naskah Walida
yang ditulis oleh Ilham berikut ini. “Belajarlah menenun, Anakku agar
kau tahu bahwa di setiap benang yang kau tenun kau akan hidup bersama
tenunanmu. Putarlah pemintal itu seolah kau memutar waktu hidupmu.
Perlakukan benag-benang itu seperti kau memperlakukan orang-orang yang
kau cintai. Suatu saat nanti kau akan tahu mengapa perempuan diajarkan
untuk menenun benang-benang itu satu persatu. Karena tenun ibarat
keluarga. Jika ada yang memutuskan, kitalah Nak, perempuan yang harus
menyatukannya kembali.”
Sutradara mengemas pementasan ini dengan memasukkan beberapa unsur
gerakan tari pattennung ke dalamnya, lengkap dengan alunan musik
tradisional dengan bunyi kecapi, suling, gendang Makassar, dan gendang
Toraja yang semakin menambah penggambaran suasana tradisi dari
pementasan ini. Dengan setting Bugis zaman dulu, sutradara menghadirkan
gambaran rumah panggung dan balai-balai yang diisi dengan seperangkat
alat tenun dan pemintal.
Sepanjang pementasan, tokoh Indo’ memang mendominasi adegan. Hampir
semua dialognya dilakukan sambil menenun. Dengan begitu, sedikit
gambaran bahwa tenun telah menjelma menjadi pasung buat Indo’ tanpa dia
sadari. Di akhir pementasan, tokoh Indo’ digambarkan lepas dari tenunan
yang menjadi belenggunya selama ini. “pementasan ini berusaha
menggambarkan pemasungan yang dialami oleh seorang perempuan lewat media
tenun yang dikemas dalam konflik keluarga. Meskipun di sisi lain, tenun
mengajarkan perempuan untuk memiliki kesabaran, keikhlasan, kesetiaan,
dan kehalusan budi. Namun tenun ini adalah salah satu alat alienasi
untuk perempuan. Membatasi ruang geraknya tanpa mereka sadari.” Terang
Erwin Suprianto, sutradara dari pementasan ini di sela-sela diskusi.
“Pementasan ini adalah karya Teater Kampus Unhas yang ditujukan untuk
pengambilan gambar yang akan diikutkan dalam kurasi Festival Teater
Mahasiswa Nasional (FESTAMASIO VI) yang akan digelar oleh Teater Tiyang
Alit, ITS Surabaya bulan Februari mendatang. Sehingga harapannya proses
yang dijalani selama beberapa bulan terakhir dapat memberikan banyak
pembelajaran bagi tim untuk semakin mampu mendisiplinkan diri, serta
menghargai proses yang dijalani sehingga penghargaan terhadap hal-hal
yang hadir dipanggung bukan lagi sekedar sandiwara belaka, tapi
benar-benar diresapi.” Ungkap Ilham, Ketua Umum Teater Kampus Unhas yang
juga penulis dari naskah ini. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar