Kini, setelah hampir setengah abad, bencana asap itu masih saja terjadi, bahkan kian meluas di sejumlah wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, tidak hanya itu asap semakin melebar hingga Malaysia dan Singapura. Kabut asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan sudah masuk kategori darurat, bukan lagi bencana biasa bahkan bisa dikatakan bencana nasional. Dampaknya terus menerus dirasakan, anak-anak tidak lagi mencicipi bangku sekolahnya. Bukan lagi O2 tapi mengalir H2CO dalam tubuh hingga kejadian inspeksi saluran pernafasan meningkat.
Siapa yang harus dipersalahkan? Apakah mereka, para pelaksana teknis atau mereka, brainware dari semua ini. Meski telah mendapat kecaman dan tindakan tegas tapi tetap saja itu hanya tobat sambal bagi mereka para pengusaha. Tak ada kata jera untuk mereka, hampir tiap tahun kejadian terulang. Hingga kabut asap menjadi bencana tahunan yang senantiasa dinanti setelah bencana banjir. Belum lagi bencana ini dianggap sebagai politisasi asap, suatu ajang pencitraan bagi mereka yang tak bermodalkan tempat untuk menunjukkan keeksistensiannya. (*)
AKSI TEATERIKAL TKU
22 SEPTEMBER 2015
PINTU SATU UNHAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar