STUDIOTKU-Dua Mei 2017, kami memilih pentas. Membacakan puisi "Sajak Anak Muda" karya W.S Rendra di Hari Pendidikan Nasional di Lapangan Outdoor PKM Unhas.
Ketika upacara Hardinas itu yang di gelar birokrasi selesai. Giliran event UKM Day berjalan. Di situlah para UKM unjuk kebolehan. Ada tari, paduan suara, karate, dan bakat mahasiswa lainnya dipertontonkan.
Kami 'TKU' juga dapat giliran. Kami memilih pentas kecil-kecilan, membacakan puisi Rendra bertiga (Maria, Rara, dan Rahda) juga satu pemusik (Reza). Gayanya tentu model teaterikal. Itu ciri khas.
Terik matahari, tentu terasa panas. Penonton juga tak banyak, sebab dari awal UKM Day dihelat hanya puluhan mahasiswa yang setia bertahan menunggu pentas usai.
Namun, kami tetap harus pentas. Mesti penonton hanya belasan orang saja. Kami yakin suara kecil kami tetap lantang didengarnya. Kami membuatkannya alur dan tiga properti kotak-kotak, payung merah simbol 'kampus merah' sebagai protes kami pada kampus dan mahasiswa.
Ada tulisan birokrasi-mahasiswa-harus-patuh, IPK-Ijazah-3,5 tahun-kerja. Kami hanya ingin melakukan protes kecil, sebab sebagai mahasiswa 'kami masih butuh kebebasan berpikir'.
Kami sadar kami dibuai dengan kesibukan perkuliahan, mahasiswa seolah-olah lepas dari kontrol sosial. Yang seharusnya, menjadi 'pengawal kebijakan pemerintah' tak pro rakyat, kebijakan kampus yang tak pro mahasiswa. Kami ingin dibungkam.
Makanya, suara-suara lewat sajak Rendra kami ingin tetap mengatakan kepada semua orang, suara protes kecil, akan tetap lantang.
"Sajak anak muda menyampaikan kenyataan miris yang terjadi di negara ini, dituliskan dalam bentuk puisi oleh W.S Rendra," begitu kata Rahda.
Rahda bilang puisi ini memiliki unsur demokratisasi yang kuat dalam menyuarakan jeritan rakyat. Pendidikan yang tidak menyeluruh, kualitas pendidikan pun masih terbatas. Tak semua bisa mengakses pendidikan. Mengapa?. Uang kuliah makin mahal.
Hal ini sangat bertentangan dengan unsur demokrasi, yaitu adanya persamaan hak antar warga negara.
Puisi ini juga menggambarkan keadaan mahasiswa yang diciptakan hanya menjadi alat, dibiarkan menjadi seseorang dengan apa yang telah di raih di perguruan.
Dalam puisi itu misalnya, ada dokter hanya bisa menjadi dokter yang cacat sosial, ijazah lulusan hukum hanya dijadikan tameng namun hukum masih tetap dikhianati dan keadilan yang miring sebelah.
Mahasiswa hanya dituntut menjadi lulusan terbaik hanya berdasarkan nilai, patuh akan sistem, serta hilangnya hak menguraikan gagasan. Namun dalam dunia kerja?. Nol!. Begitu dalam kemanusiaan. Jangan sampai itu terjadi.
Puisi Sajak Anak Muda kata Maria, mengambarkan potret pembangunan di Indonesia. Puisi ini mengkritik tentang remaja yang hanya santai dalam masa mudanya dan pasra dengan masa depannya.
Selain mengkritik tentang remaja, puisi ini juga mengkritik tentang sistem pendidikan yang tidak memberi pencerahan. Sistem pendidikan yang mengarah ke Barat. Puisi itu di bawakan dengan teaterikal yang menggambarkan keadaan Mahasiswa yang hanya peduli pada IPK, dan gelar sarjana, abai pada masalah sosial. Bukan kah, kita Mahasiswa menuntut keadilan dalam hal pendidikan. Agar tak ada lagi yang putus sekolah. (*)
Sajak Anak Muda
*W.S Rendra
Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum
Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.
Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua ?
Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja ?
inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
Bukan pertukaran pikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.
Dasar keadilan di dalam pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.
Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.
Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
Untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?
Kita hanya menjadi alat birokrasi !
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan -
menjadi benalu di dahan.
Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.
Apakah yang terjadi di sekitarku ini ?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ?
Apakah ini ? Apakah ini ?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.
Mengapa harus kita terima hidup begini ?
Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dan bila ada ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.
Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
sementara hukum dikhianati berulang kali.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.
Kita berada di dalam pusaran tatawarna
yang ajaib dan tidak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara
Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.
Jakarta, 23 Juni 1977
Tidak ada komentar:
Posting Komentar