slogan

Nyatakan Hadirmu dengan Kreasi, Wujudkan Lewat Cita dan Cinta

3.05.2008


…setelah sebuah masa kehancuran datanglah titik balik.

Cahaya penuh daya yang dahulunya hilang kini bersinar kembali.

Segala sesuatu adalah gerak, namun bukan oleh tenaga…

Gerak itu alami, mengalir spontan. Karena itulah pergantian

menjadi mudah. Yang lama berakhir, yang baru terlahir.

Keduanya berlangsung dalam saat yang telah ditentukan,

karenanya tidak ada luka yang ditimbulkan.

-I Ching-

Tak terasa banyak hal yang telah berlalu pada satu tahun masa kepengurusan TKU, ibaratnya sebuah kapal yang tengah berlayar menembus gelombang yang tak tak henti-hentinya menghadapi pasang dan surut, dengan segala musim yang mempunyai ciri khasnya masing-masing dan yang mungkin hampir saja menenggelamkan kita semua. TKU kini telah melewati begitu banyak pelabuhan dan bandar dengan silih berganti nahkoda dan anak buah kapal. Sadar atau tidak sejarah telah mencatat perjalanan itu. Seperti layaknya sebuah pertunjukan teater, klimaks dari sebuah cerita bukanlah akhir dari segalanya tetapi bagimana kita mengambil berbagai pertanyaan yang timbul pada benak kita yang mungkin belum ada jawabannya sampai sekarang ini, dan mungkin bahkan menjadi jerawat yang tak henti-hentinya datang pada muka kita yang mulus. Secara kongkrit di setiap perjalanan yang dilalui itu haruslah mempunyai tujuan yang jelas. Dan pertanyaannya adalah, sudah sejauh mana perjalan TKU sekarang?

Tulisan ini tidak akan mengulas begitu banyak suka duka romantisme sejarah di setiap peralihan masa yang di lalui TKU, cukuplah masing-masing diri kita mencatatnya dalam hati menjadi pengayaan diri di mana nanti membuat kita jauh untuk berfikir bahkan membuat jawaban yang lebih dewasa dalam setiap pertanyaan hidup yang kelak akan kita hadapi dalam ruang dan waktu yang berbeda. Tetapi tulisan ini akan lebih banyak mengupas tentang refleksi dari berbagai kebijakan dan mekanisme organisasi yang telah TKU lalui, dengan meretas kompleksitas dari konteks zaman yang akan di hadapinya dengan berbagai asumsi kritis yang diharapkan minimal menghasilkan wacana pada wilayah kognitif sampai stimuli pada prilaku organisasi nantinya.

Sebagai pengantar terhadap konteks kita berfikir dan sebagai kerangka perspektif, tak bisa di pungkiri bahwa TKU sama seperti organisasi intra Universitas lainnya adalah organisasi mahasiswa yang di dalamnya terdiri dari anggota dan dengan segala aktifitasnya bekerja bersama untuk kepentingan dan tujuan yang sama. Ini adalah sebuah pertanyaan dasariah yang nantinya menjadi bahan acuan dari berbagai pertanyaan yang akan muncul dalam tulisan ini.

TKU teater Protes, Sebuah realitas heroik (Akankah di pertahankan?)

Sebagai sebuah organisasi Intra Universitas Hasanuddin, yang tentu saja struktur organisasinya bermuara pada Lembaga Universitas, TKU tergolong organisasi yang cukup unik (Baca;Berani). Berbagai kegiatan yang mereka lakukan kadangkala menyentuh wilayah kebijakan pemerintah, bahkan bertentangan dengan kebijakan universitas sendiri. Inilah yang membuat Moch. Hasmy-Ketua TKU 1985 mengasumsikan bahwa TKU lahir sebagai Teater Proses-Teater Protes. Melihat lebih jauh lahirnya TKU kita mungkin tidak bisa lepas dari sebuah konteks masa, dimana pada saat itu perjuangan mahasiswa secara garis besar adalah perjuangan karakter jiwa mahasiswa yang kental dengan perjuangan kontrol sosial dan sebagai pembawa misi pembaharu. Dan teaterlah yang dipilih sebagai media perjuangan mereka pada saat itu. Hal inilah yang menjadi spirit dalam karya-karya yang dipentaskan TKU sampai beberapa tahun setelahnya. Berbagai pementasan jalananpun dilakukan sebagai jalur proses dan jalur protes baik itu menyangkut kebijakan pemerintah maupun kebijakan universitas.

Ada hal yang perlu kita sama-sama cermati adalah perjuangan itu tidak serta merta lahir sebagai spontanitas masa saja, yang kemudian dapat menghasilkan sebuah proses yang dapat menjadikan TKU sebagai organisasi yang sangat apresiatif. Tetapi bentuk pencarian itu tentu saja dilandasi atas pemenuhan kognisi, penguasaan wacana, bahkan sampai pada perdebatan filosofis sekalipun. Bergumul dengan buku adalah hal yang mutlak. Konklusi persepsi, dan penyatuan visi selalu diretas dalam ruang-ruang komunikasi yang tak mengenal ruang dan waktu, yang tak disangka lagi menyebabkan beberapa anggota TKU pada saat itu terpapar “candu” dan malas untuk menyelesaikan kuliah yang dianggap tak lagi bisa memenuhi dahaga pengetahuan untuk mereka.

Penulis disini tentunya tidak ingin menjebak kita dalam konstruksi masa yang menyebabkan budaya yang berbeda, tetapi ketika kita menelisik lebih jauh ke dalamnya, ada perubahan paradigma yang lebih besar mempengaruhi tatanan kehidupan sosial pada umumnya. Pergeseran yang besar pada masa transisi dimana modernisasi dianggap sebagai kunci jawaban dari kehidupan yang lebih luas. Hal ini menyebabkan kita larut dalam sebuah realitas baru seperti kemudahan, kenyamanan, kesenangan, identitas palsu. Modernisasi ini telah menyebabkan kita kehilangan realitas-realitas masa lalu beserta kearifan-kearifan yang ada di balik itu. Yang justru lebih berharga dalam membangun karakter jiwa sebagai manusia, seperti ; rasa kedalaman, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat spritualitas, semangat moralitas, dan semangat komunitas. Dan pertanyaannya, apakah kita sudah sampai jauh tenggalam kepada pembentukan identitas palsu ini? Di mana rasa kesatuan itu tidak mempunyai makna apa-apa?membuat asosiasi-asosiasi (Conotation) atau tanda-tanda (Sign) yang cuma mengejar kulit ketimbang isi?atau ini semua adalah cuma pelarian untuk mencari identitas baru ?.

Mudah-mudahan pertanyaan tersebut diatas adalah sekedar asumsi dari sebuah kengerian dari laku peradaban zaman saja. Dan teater adalah sebuah jawaban nyata untuk mempelajari itu lebih dalam. rasa kedalaman, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat spritualitas, semangat moralitas, dan semangat komunitas akan tercakup di dalamnya, ketika kita bergumul dengan sungguh-sungguh (berproses). Sebuah babak baru kita butuhkan, dengan semangat dan kecerdasan yang baru pula. Mungkin metode dari orang-orang tua kita terdahulu sudah uzur dan lapuk di makan oleh zaman tapi esensi mereka dalam perjuangan yang harus kita resapi lebih dalam. Hal yang paling kongkrit adalah mampukah kita meretas itu semua dalam jawaban kesadaran untuk belajar, berbuat dan bergerak bersama?dan jawabannya harus mampu. Karena jangan sampai kita terjebak justru jauh lebih dalam lagi, tanpa tahu apakah realitas yang yang kita jalani sesungguhnya. Dan apakah identitas ke”TKU”an kita sesungguhnya?...

Kualitas VS Kuantitas, Layakkah diperdebatkan?

Mungkin telah banyak pelajaran yang telah sama-sama kita lalui dalam menelorkan generasi baru di TKU. Mulai dari perjalanan awalnya ketika TKU masa lalu belum memikirkan untuk menerima anggota baru. Sampai pada pemikiran bahwa ternyata kehidupan organisasi sebagai fundamen dasar dari segala kegiatan yang berlangsung ternyata terlupakan. “Hidup segan, mati tak mau” berikut yang dikatakan asfriyanto adalah lebih pada kepedulian anggota TKU pada saat itu untuk melakukan re-generasi organisasi. Mungkin saja bentuk arogansi egosentris, atau bisa jadi terlalu menikmati aktualisasi mereka bermain “teater” yang menyebabkan kemunduran organisasi pada masa itu. Dan sebagai lompatan besar dari sebuah pelajaran berharga dari sejarahnya, ketika TKU mulai memikirkan untuk menerima anggota baru sebagai bentuk regenerasi.

Tapi ada satu hal yang kemudian bisa kita renungkan bersama adalah apakah dalam setiap kali prosesi penerimaan anggota baru TKU telah benar-benar siap untuk menjalankan setiap proses yang akan di lalui orang-orang yang baru ingin bergelut dalam dunia teater ini?Sudah mampukah kita memprediksikan hasil dari cetakan dari prosesi ini?. Pertanyaan ini tentu saja tidak semudah menyeduh indomie dengan air panas kemudian mengkonsumsinya(Baca;Instan). Tentu saja cara menjawabnya adalah penyiapan dari sebuah skenario yang besar. Tidak lagi berkutat pada kualitas ataukah kuantitaskah yang menjadi prioritas wacana awalnya, tetapi kedua hal tersebut adalah sangat baik ketika kita mampu untuk mengakumulasinya dalam serangkaian metode yang sistematik. Yang memepunyai kedalaman nilai yang lebih. Yang mampu membuat realitas (real bukan palsu) yang lebih kondusif dalam berproses. Dan bukan mengahasilkan kader yang mempunyai kesadaran “terberi”. Baik itu sadar dirinya sebagai insan organisasi, dan sebagai insan teater.

Sangat tidak memungkinkan metode ini berjalan apabila, serentetan pertanyaan tersebut diatas belum mampu kita jawab bersama. Pertanyaan dari sub-tema inipun akan kembali berputar. Dan ketakuatan kita bersama tentunya, apabila TKUpun akan miskin kualitas dan miskin kuantitas?!.

Akhir kata, tiada kata tidak bisa dalam berproses selama kita mau. Dan selamat untuk kepengurusan TKU yang baru. Tulisan ini tentu sangat sederhana untuk menjadi sebuah kado yang indah dalam sebuah kompleksitas ber”TKU” tapi mudah-mudahan bisa menjadi bahan wacana awal meretas cita-cita dan harapan kita nantinya. Sebuah koswekuensi logis dari kelahiran manusia menjadi khalifah, adalah menentukan jejak arah dunia..

Amy’ , 11 january 08...

Tidak ada komentar: