slogan

Nyatakan Hadirmu dengan Kreasi, Wujudkan Lewat Cita dan Cinta

11.22.2012

Walida Ibarat Sebuah Keluarga


Di sudut rumah panggung Bugis, seorang anak kecil terlihat memainkan permainan tradisional seorang diri. Rambutnya kusut dan tidak terurus. Kedua kakinya terpasung. Sementara di sudut lain, seorang ibu memandang lurus dengan tatapan sayu. Tangannya masih menggenggam walida. Dengan gemulai, ia mulai menenun. Lampu hijau menyorot tangga rumah. Seorang perempuan memakai baju bodo turun perlahan dengan menarikan tari pattenung. Sementara alunan kecapi, suling, dan gendang lamat-lamat mengiringi gerakannya. Langkahnya terhenti di depan putaran pemintal. Ia memutar pemintal yang menandai cerita baru dimulai.
Itulah salah satu adegan dalam pementasan berjudul Walida yang disutradarai oleh Erwin Suprianto dan asisten sutradara Hijrah Nasir yang baru-baru ini dipentaskan oleh Teater Kampus Unhas di Baruga Andi Pangeran Pettarani, Universitas Hasanuddin, Minggu, 14 Oktober 2012. Dengan durasi pementasan 47 menit, pementasan ini mengisahkan kehidupan seorang perempuan penenun yang menghabiskan hampir separuh hidupnya terpasung di bawah tenunan. Cerita diawali dengan kepergian suaminya merantau ke negeri seberang karena siri’. Sehingga perempuan ini harus membesarkan anaknya seorang diri. Selama bertahun-tahun ia menunggu kedatangan suaminya dengan terus menenun. Berharap suatu saat sarung-sarung itu akan dipersembahkan kepada suaminya saat ia kembali. Namun seiring berjalannya waktu, suaminya tak kunjung kembali. Konflik kemudian hadir, ketika orang tua perempuan prihatin melihat kondisi anaknya yang terus saja menunggu dengan setia. Sampai ketika seorang rentenir datang dan berniat menikahinya. Namun Ia tetap bertahan dengan kesetiaannya sampai akhir hidupnya.
Tenun menjadi media yang digunakan oleh ibu untuk mengajari anaknya tentang nilai-nilai kesabaran, ketekunan, dan keikhlasan menjalani hidup. Seperti yang terlihat dalam penggalan dialog dari naskah Walida yang ditulis oleh Ilham berikut ini.  “Belajarlah menenun, Anakku agar kau tahu bahwa di setiap benang yang kau tenun kau akan hidup bersama tenunanmu. Putarlah pemintal itu seolah kau memutar waktu hidupmu. Perlakukan benag-benang itu seperti kau memperlakukan orang-orang yang kau cintai. Suatu saat nanti kau akan tahu mengapa perempuan diajarkan untuk menenun benang-benang itu satu persatu. Karena tenun ibarat keluarga. Jika ada yang memutuskan, kitalah Nak, perempuan yang harus menyatukannya kembali.”
Sutradara mengemas pementasan ini dengan memasukkan beberapa unsur gerakan tari pattennung ke dalamnya, lengkap dengan alunan musik tradisional dengan bunyi kecapi, suling, gendang Makassar, dan gendang Toraja yang semakin menambah penggambaran suasana tradisi dari pementasan ini. Dengan setting Bugis zaman dulu, sutradara menghadirkan gambaran rumah panggung dan balai-balai yang diisi dengan seperangkat alat tenun dan pemintal.

Sepanjang pementasan, tokoh Indo’ memang mendominasi adegan. Hampir semua dialognya dilakukan sambil menenun. Dengan begitu, sedikit gambaran bahwa tenun telah menjelma menjadi pasung buat Indo’ tanpa dia sadari. Di akhir pementasan, tokoh Indo’ digambarkan lepas dari tenunan yang menjadi belenggunya selama ini. “pementasan ini berusaha menggambarkan pemasungan yang dialami oleh seorang perempuan lewat media tenun yang dikemas dalam konflik keluarga. Meskipun di sisi lain, tenun mengajarkan perempuan untuk memiliki kesabaran, keikhlasan, kesetiaan, dan kehalusan budi. Namun tenun ini adalah salah satu alat alienasi untuk perempuan. Membatasi ruang geraknya tanpa mereka sadari.” Terang Erwin Suprianto, sutradara dari pementasan ini di sela-sela diskusi.
“Pementasan ini adalah karya Teater Kampus Unhas yang ditujukan untuk pengambilan gambar yang akan diikutkan dalam kurasi Festival Teater Mahasiswa Nasional (FESTAMASIO VI) yang akan digelar oleh Teater Tiyang Alit, ITS Surabaya bulan Februari mendatang. Sehingga harapannya proses yang dijalani selama beberapa bulan terakhir dapat memberikan banyak pembelajaran bagi tim untuk semakin mampu mendisiplinkan diri, serta menghargai proses yang dijalani sehingga penghargaan terhadap hal-hal yang hadir dipanggung bukan lagi sekedar sandiwara belaka, tapi benar-benar diresapi.” Ungkap Ilham, Ketua Umum Teater Kampus Unhas yang juga penulis dari naskah ini.
 

nb: catatan ini dipublikasikan di koran Fajar Tgl 28 Oktober 2012 pada kolom Apresiasi

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Kalau bisa teater kampus unhas harus mengangkat tema yang jarang atau tidak pernah diangkat sebelumnya, dan kalau perlu naskahnya jangan lagi mengambil atau memakai naskah yang dibuat oleh orang lain selain dari TKU itu sendiri, yah walau pun TKU itu sifatnya hanya di kampus shy tapi bisalah lebih continue perteaterannya. saran terakhirku kalau bisa harus membuat terobosan baru tentang teater.
salam PPCA 2012